Sabtu, 07 Januari 2012

BAB 11:Video

KEKERASAN DALAM BERPACARAN

          Cerita ini berawal dari seorang gadis berumur belasan tahun yang kesepian dan mencari kesibukan di luar rumah dengan bekerja di suatu training center, sambil bekerja sebut saja Melati namanya, dia juga berkuliah di salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Singkat cerita Melati berkenalan dengan pemuda bernama Jaka teman kampusnya, dan merekapun menjadi sepasang kekasih tanpa diketahui kedua orang tua Melati istilah anak jaman sekarang “Backstreet”.
        Sosok Jaka digambarkan sebagai kekasih yang penuh perhatian, sayang kepada Melati, tetapi mempunyai sifat posesif, pencemburu, mudah terpancing emosi dan suka main tangan. Seringkali bila terjadi keributan di antara mereka, Jaka mengeluarkan lontaran cacian dan makian bahkan tak segan-segan memukul Melati. Jaka mendapat pengaruh seperti ini karena sering melihat percekcokan orang tuanya.

         Selain mendapatkan kekerasan secara fisik, Melati juga menerima  kekerasan ekonomi. Sampai pada akhirnya Melati tak tahan lagi dan akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hubungan tak sehat ini.

        Dari cerita di atas dapat disimpulkan korban atau pelaku kekerasan dalam pacaran (KDP) bisa dialami oleh siapapun baik itu seseorang yang berpendidikan tinggi sampai dengan rendah, status social dari tingkat atas sampai bawah, suku, agama, ras dan sebagainya.
 KDP mempunyai siklus, jad harus ada pihak ketiga untuk membantu pencegahan KDP.
Beberapa cara pencegahan KDP :
1.       Pihak korban harus berani mengatakan ‘tidak’ atau menolak.
2.       Pihak korban harus didampingi oleh sahabat/teman dekat.
3.      Adanya komunikasi dengan keluarga, dalam hal ini kedekatan dan komunikasi dengan orang tua perlu dijain.
4.       Lembaga-lembaga swadaya masyarakat sebagai pendamping bilamana dibutuhkan dari sisi hukum.
5.       Menciptakan suasana harmonis dan kondusif antar anggota keluarga.
6.   Setiap korban mengalami kekerasan, abasikan bekas-bekas kekerasan itu dalam sebuah foto. Hal ini akan sangat membantu karena bisa dijadikan sebagai bukti yang konkrit.
7.    Buatlah catatan tiap kali kekerasan terjadi.
8.    Hubungi orang terdekat atau mereka yang bisa dipercaya.
9.    Jangan ragu untuk menghubungi pihak berwajib, jika memang keselamatan diri terancam.

Rabu, 04 Januari 2012

BAB 10:Masyarakat Perkotaan dan Masyarakat Pedesaan

Beda Pola Pikir Masyarakat Kota dan Pedesaan Tentang Kendaraan

 

Perbedaan pola pikir masyarakat kota dan desa memang terlihat jelas seperti masyarakat kota lebih cenderung cuek ketimbang pedesaan berbeda sekali dengan masyarakat pedesaan yang masih memegang asas ke gotong royongan tapi yang kita bahas tentang beda pola pikir memilih kendaraan.
Contohnya kasus sperti roda 2 dan kebetulan Honda supra x 125 yang mempunyai tipe injeksi maupun karburator, masyarakat kota lebih cenderung memilih HSX PGM fi ketimbang versi karburator,perbandingan injeksi dengan karbu untuk kota hampir 50:50% sedang di pesesaan hanya 10:90% ini didasari karena masyarakat kota lebih memilih prestige,kenyamanan dan mempunyai cara pikir modern alasannya karena gengsi karena lebih mahal dari versi karbu,irit,jarang servis(throtle body).
Nah untuk masyarakat pedesaan lebih menyukai versi karbu karena pola pikirnya seadanya saja yang penting bisa ditunggangi dengan alasan versi karburator lebih murah,kalo ada kerusakan lebih gampang ditangani mekanik pinggir jalan dan harga jual kembali versi injeksi yang memperhatinkan.

Contoh lainnya untuk varian skutik honda seperti Beat dan Spacy yang baru baru ini dikeluarkan oleh AHM dengan harga yang hampir sama,Beat dikampung lebih diminati karena lebih dulu muncul,ramping sedang Spacy banyak yang bilang gak suka dengan bodinya yang memang sangat besar gimana gak besar helm full face aja bisa masuk kebagasinya kok,,,

berbeda dengan masyarakat kota yang memungkinkan mobilitas tinggi dengan bagasi yang lebih luas pasti akan mempermudah membawa barang ditambah dengan penempatan boks filter udara yang dipasang diatas CVT yang juga mempengaruhi dari segi bahan bakar menjadi irit.

Mungkin jika YMKI mengeluarkan Vixion versi karbu taruhlah selisih harga 1 juta lebih murah dari pada injeksi yaitu sekitar 20 juta saya yakin masyarakat pedesaan akan memilih versi karbu ketimbang injeksi.

Sama seperti kendaraan lainnya yaitu Kijang Inova Diesel vs VVTi dikota Diesel lebih diminati sedang dikampung saya hanya 1:10.

Sumber Diperoleh Dari:http://skullsmokers.wordpress.com/2011/09/17/beda-pola-pikir-masyarakat-kota-dan-pedesaan-tentang-kendaraan/

BAB 9:Prasangka Diskriminasi&Etnositentris

Lagak dan Langgam Sumatera

 

Inilah Sumatera. Pulau elok dengan segudang pesona. Ada bahasa yang dituturkan, ada budaya yang jadi adat istiadat. Inilah Sumatera, tempat kami berkumpul menjadi masyarakat.
Saya telah berpergian ke banyak pulau: Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara hingga Papua. Tapi tak pernah saya temui pesona Pulau Sumatera. Ini bukan sekedar soal keelokan alamnya. Bukan pula soal keramah-tamahan penduduknya. Lebih dari itu, Sumatera menawarkan eksotisme yang beda. Terbentang dari ujung timur di Propinsi Lampung hingga ujung barat di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera menawarkan keberagaman antarbudaya.
Keberagaman antarbudaya masyarakat Sumatera itu kemudian membentuk beragam corak bahasa dan karakter. Saya melihat, cara orang Sumatera bertutur dan berkomunikasi pun kemudian menjadi istimewa. Etnosentris, prasangka dan streotip kemudian menjadi konsep penting jika kita menelusuri komunikasi antarbudaya masyarakat Sumatera
Sebenarnya istilah antarbudaya pertama kali diperkenalkan oleh Edward T.Hall pada tahun 1959 dalam bukunya The Silent Language. Perbedaan antarbudaya dalam berkomunikasi baru dijelaskan oleh David K. Berlo (1960) melalui bukunya The Process of Communication (An Introduction to Theory and Practice). Barlo (1960) menggambarkan proses komunikasi dalam model yang diciptakannya. Menurutnya, komunikasi akan tercapai jika kita memperhatikan faktor-faktor SMCR (Sources, Message, Channel, and Receiver). Antara sources dengan receiver yang diperhatikan adalah kemampuan berkomunikasi, sikap, pengetahuan sistem sosial, dan kebudaayaan. Namun, dalam hal ini, komunikasi antarbudaya masyarakat Sumatera akan dijelaskan melalui konsep Etnosentrisme yang berbasis pada konteks komunikasi kelompok (etnik).
Saya menyimak konsep Etnosentrisme kadangkala dipakai secara bersama-sama dengan Konsep Rasisme. Konsep ini mewakili sebuah pengertian bahwa setiap kelompok etnik atau ras mempunyai semangat bahwa kelompoknyalah yang lebih superior dari kelompok lain. Masyarakat Sumatera dengan gamblang memperlihatkan gejala kuat mendukung konsep ini.
Hal itu bisa dilihat dari keinginan orang Sumatera untuk menguasai berbagai sektor kehidupan masyarakat. Sebagai contoh di Jakarta, orang Sumatera menguasai berbagai sektor penting seperti bidang hukum dan politik. Etnosentrisme orang Sumatera kemudian memunculkan sejumlah pengacara kondang seperti Ruhut Sitompol dan Hotman Paris Hutapea. Di kancah politik, Etnosentrisme memunculkan sejumlah tokoh politik papan atas yang berasal dari tanah Sumatera seperti Akbar Tanjung.
Saya kemudian mencermati, konsep Etnosentrisme ini kemudian dilengkapi dengan konsep Prasangka yang seolah menjadi “darah daging” bagi orang Sumatera. Bennet de Janet (1996) menyebutkan prasangka adalah sikap antipati yang didasarkan pada kesalahan generalisasi atau generalisasi yang tidak luwes yang diekspresikan lewat perasaan. Prasangka merupakan sikap negatif atas suatu kelompok tertentu dengan tanpa alasan dan pengetahuan atas sesuatu sebelumnya. Prasangka ini juga terkadang digunakan untk mengevaluasi sesuatu tanpa adanya argument atau informasi yang masuk. Efeknya adalah menjadikan orang lain sebagai sasaran, misalnya mengkambinghitamkan kelompok sasaran, diskriminasi, dan penciptaan jarak sosial. Konsep prasangka salah satu contohnya bisa dilihat ketika terjadinya pengusiran secara besar-besaran masyarakat Jawa dari Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tahun 1999 yang merupakan akibat dari pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Padahal, masyarakat Jawa yang berada di Aceh rata-rata sudah menetap disana selama lebih kurang 10 tahun. Namun, karena konsep Prasangka yang berkembang dalam komunikasi antarabudaya masyarakat, maka dengan gampang, persoalan kemiskinan di Aceh dilemparkan sebagai tanggungjawab masyarakat Jawa yang umumnya menjadi imigran disana.
Saya juga merasakan bagaimana prasangka menjadi bagian dalam keseharian antarbudaya masyarakat Sumatera. Mereka seolah selalu ingin menciptakan “kambing hitam” terhadap suatu keadaan yang terjadi. Ada nuansa yang kuat bahwa masyarakat Sumatera yang keras dan “kasar” ini berupaya menggampangkan semua persoalan dengan memakai konsep Prasangka ini.
Satu konsep lagi yang bisa dipakai untuk menelusuri komunikasi antarbudaya masyarakat Sumatera adalah konsep Streotip. Konsep ini berasal dari kecenderungan untuk mengorganisasikan sejumlah fenomena yang sama atau sejenis yang dimiliki oleh sekelompok orang ke dalam kategori tertentu yang bermakna. Streotip berkaitan dengan konstruksi pencitraan (image) yang telah ada dan terbentuk secara turun-temurun menurut sugesti. Ia tidak hanya mengacu pada pencitraan negatif tetapi juga positif. Ini bisa dilihat dari Streotip yang dibangun secara turun-temurun oleh masyarakat Sumatera. Misalnya, masyarakat Batak yang memiliki streotip yang kasar dan tegas. Masyarakat Minang memiliki jiwa berdagang yang besar dan masyarakat Aceh dilebelin sebagai kelompok masyakarat yang susah diatur. Padahal, streotip ini sangat mungkin bisa salah dalam kenyataannya. Namun karena kosep Streotip sudah menjadi bagian dari komunikasi antarbudaya masyarakat Sumatera, hal ini kemudian seolah menjadi bagian yang tidak terpisahkan.
Melihat pemaparan diatas, bisa dimaklumi jika masyarakat Sumatera kini menjadi perhatian banyak pihak. Entitas mereka diteliti dan system komunikasi serta budaya mereka menjadi bahan kajian yang menarik. Jadi seperti yang saya bilang diatas, Sumatera itu bukan hanya soal keelokan alamnya. Tapi, lebih dari itu. Ini soal lagak dan langgam Sumatera!

Sumber diperoleh Dari:http://bloggersumut.net/sejarah-budaya/lagak-dan-langgam-sumatera

BAB 8: Ilmu Pengetahuan,teknologi,& kemiskinan

Orang Miskin Juga Perlu Handphone

 

Komunikasi di era modern seperti sekarang ini benar-benar telah melampaui sekat jarak dan waktu. Produk teknologi informasi bergerak seperti Telepon selular atau handphone adalah salah satu benda yang paling fenomenal di abad ini. Kehadiran nya mampu menghubungkan anda tanpa harus diam di satu tempat..Hand phone awal nya dianggap sebagai barang mewah, namun saat ini banyak juga di gunakan oleh rakyat kecil. Harganya kian terjangkau, terutama sejak masuknya handphone asal China. Tarif percakapan pun semakin murah, dengan pilihan nominal pulsa yang semakin beragam dan terjangkau. Tahun-tahun belakangan ini, keberadaanya tidak lagi dianggap sebagai barang mewah. Rakyat kecil dengan penghasilan pas-pasan pun sudah banyak yang menggunakannya. Baik untuk fungsi sosial maupun untuk menunjang aktivitas usaha mereka.
13063782811134596566
Mereka yang dulu rasanya “kurang pantas” memegang benda mahal seperti handphone, saat ini tampak piawai menggunakannya. Keberadaan benda yang dulu serasa begitu jauh untuk di jangkau , saat ini justru menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari mereka. Keberadaanya bukan bagian dari menjaga gengsi tapi memang benar-benar mereka butuhkan untuk menunjang usaha mereka. Inilah beberapa profesi orang-orang kecil yang saat ini memanfaatkan hiruk pikuknya gadget ajaib yang di sebut telepon selular.
Pemulung
Beberapa waktu lalu seorang Pemulung bertubuh dekil mengisi pulsa di toko ku. Gerobak besar berisi barang-barang rongsokan di parkir disisi jalan raya. Pulsa yang diisi memang tidak besar, hanya Rp. 5000 rupiah saja. Handphone nya pun buatan lawas, yang dulu pernah diberi julukan handphone sejuta umat. Dikeluarkan nya dengan hati-hati dari bungkus plastic putih yang tampak sudah kumal. “Takut kotor mas”, seru nya sambil tersenyum. Sesaat dia melihat pulsa yang masuk di layar monitornya. Akupun tertarik untuk mengobrol sejenak dengan nya. “Dipakai untuk telpon kemana saja pak,HP nya?” Tanya ku penasaran. Anu mas, saya pakai untuk ngecek harga barang rongsok seperti plastic, kardus, botol. Kalau harga sedang bagus, baru saya jual. Kalau harga sedang jatuh, mendingan saya timbun dulu. Akupun tersenyum mendengar nya, “Ngak kalah sama pialang saham di bursa efek Jakarta” ujar ku. Si bapak pun tersenyum. “lagian anak isteri saya juga di kampung semua mas,kalau ada apa-apa kan gampang, tinggal hubungin aja”, lanjut nya sambil berlalu pergi.
Tukang Ojek
Cerita seorang teman ku beberapa waktu yang lalu. Seorang tukang ojek menyodorkan nomor handphone kepadanya. “Mbak kalau perlu ojek bisa hubungi saya, mbak tinggal bilang saja mau di jemput dimana”, ujar tukang ojek. Temanku yang memang bekerja di bidang marketing sempat tertegun juga melihat inovasi yang dibuat oleh tukang ojek dalam menggaet pelangggan. Persaingan yang tinggi di usaha ojek rupanya juga melahirkan kreativita baru untuk mendekati pelanggan. Dengan layanan jemput penumpang di tempat, mereka berharap ada yang akan menjadi langganan tetap. Keberadaan handphone tentu sangat berguna bagi kemajuan usaha mereka.
Tukang Urut
Badan yang pegal-pegal setelah seharian bekerja, tentu perlu juga di relaksasi. Pijat atau urut tentu dapat mengembalikan kesegaran kita. Namun seringkali kita malas untuk beranjak pergi ke tempat tukang urut. Atau kalaupun ada tukang urut keliling seringkali jadwalnya tidak jelas. Saat ini tukang urut keliling tidak susah lagi mencarinya. Badan pegal,perlu di pijat, tinggal hubungi saja nomor handphone tukang urut yang bersangkutan. Sebentar saja dia akan datang kerumah. Kemajuan teknologi membuat jumlah pelanggan merekapun bertambah. Dengan nomor yang bisa di hubungi, jadwal pijat dari para klien nya dapat dengan mudah diatur.
Petani di Desa Terpencil
Marak nya pemakaian telepon selular bukan Cuma terjadi di kota-kota. Di kampung terpencil diatas gunung pun, handphone menjadi idola baru. Tak usah heran bila bapak-bapak tua dengan tangan kotor berlumpur kering terlihat asik mengobrol menggunakan handphone. Keterbatasan telepon kabel dalam menjangkua daerah-daerah pedalaman membuat penggunaan handphone menjadi andalan untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Meski kadang untuk mencari sinyal pun mereka harus pergi kedaerah yang lebih tinggi.
Untuk petani didesa-desa, informasi dari dunia luar terutama untuk harga komoditi pertanian dirasa sangat penting. Informasi ini akan di gunakan oleh petani untuk menentukan kapan sebaiknya panen di lakukan. Petani didesa saat ini selalu melakukan cek harga ke pasar-pasar induk. Petani-petani di pelosok Garut terbiasa menggunakan handphone untuk mengetahui harga di pasar induk Kramat Jati, Jakarta maupun di Gede Bage,Bandung. Bila harga dirasa cocok, tanaman baru di panen. Jika harga sedang jatuh, biasanya mereka menunda sementara waktu panen yang akan dilakukan. Aksi jual dan tahan di komoditas pertanian didaerah sepintas mirip dengan permainan saham. Diperlukan ketelitian dan timing yang tepat dalam menentukan penjualan. Panen yang tidak tepat menyebabkan harga jual yang murah. Bila sudah di panen, hasil pertanian seperti cabai cenderung mudah busuk. Lain hal nya bila cabe belum dipetik dari pohon.
Gadget seperti handphone, saat ini sudah dianggap menjadi bagian dari kebutuhan sosial dan bisnis. Peran sentral nya dalam menunjang komunikasi diantara pengguna nya mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Bukan Cuma orang kaya yang melek teknologi, orang miskin pun seharusnya tahu bagaimana suatu gadget dapat memberikan nilai tambah pada aktivitas nya sehari-hari. Nilai tambah yang didapat dari handphone tentu sangat tergantung dari pemakainya. Penggunaan handphone yang hanya untuk urusan ngobrol yang tidak penting tentu akan menjadi beban bagi masyarakat kecil. Sebaliknya bila digunakan untuk hal-hal yang mendukung usaha mereka, tentu akan mendatang kan nilai tambah yang lain. 

Sumber Diperoleh Dari:http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2011/05/26/orang-miskin-juga-perlu-handphone/

BAB 7:Agama dan Masyarakat

Kegagalan Agama Menjalankan Demokrasi di Indonesia

Realitas Sosial di Indonesia
Pendahuluan
Peranan sosial agama harus di lihat sebagai sesuatu yang mempersatukan. Atau dalam pengertian harafianya agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik antara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Karena nilai-nilai yang mempersatukan sistem-sistem kewajiban sosial di dukung bersama oleh kelompok-kelompok keagaman, maka agama menjamin adanya persetujuan bersama dalam masyarakat. Dan agama juga cenderung melestarikan nilai-nilai sosial.
 
Memang agama mempersatukan kelompok pemeluknya sendiri begitu kuatnya sehingga apabila ia tidak dianut oleh seluruh atau sebagian besar anggota masyarakat, ia bisa menjadi kekuatan yang mencerai beraikan, memecah bela dan bahkan menghancurkan. Di samping itu juga agama tidak hanya selalu memainkan peranan yang bersifat mempelihara dan menstabilkan. Khususnya pada saat terjadi perubahan besar di bidang sosialdan ekonomi, agama sering memainkan peranan yang bersifat kreatif, inovatif, dan bahkan bersifat revolusioner.
Dalam usaha menganalisa fungsi-fungsi sosial dari tingkah laku keagamaan. Kita harus berhati-hati membedakan antara yang ingin dicapai oleh anggota- anggota suatu kelompok pemeluk tertentu dan akibat yang tidak dikehendaki dan tingkah laku mereka dalam kehidupan masyarakat. Tampa adanya tingkah laku seperti itu, sangat boleh jadi tingkah laku keagamaan tidak akan diaksanakan. Hal inilah yang sebenarnya gagal di analisa oleh sebgian besar umat beragama di indonesia, sehingga apa yang menjadi nilai-nilai dari agama yang diyakini dalam masyarakat kita, tidak teraplikasikan dengan baik. Mungkin begitu kasar ketika kita mengatakan bahwa bukan lagi nilai-nilai agama yang di perjuangkan, tetapi sebuah ideologi, tetapi itulah realitas yang terjadi.
Agama mengajarkan moral dan etika untuk hidup dalam suatu masyarakat. Universalitas moral dan etika menjamin keaneka ragaman budaya, adat dan kebiasaan serta warisan genetika. Namun agama seringkali disalah gunakan untuk membasmi sesuatu yang berbeda pada aspek budaya, adat, kebiasaan dan warisan genetik. Namun nampaknya agama tidak berdaya sama sekali dalam mencegah penyalahgunaan tersebut. Malahan agama nampaknya digunakan oleh ambisi kekusasaan dan menghalalkan pembasmian-pembasmian terbatas maupun tak terbatas, di bumi Indonesia yang penduduknya konon, hampir 100% beragama justru kemaksiatan, percabulan, perjudian, KKN, aniaya, kejahatan, narkoba, pelacuran, konflik antar umat beragama, bermunculan gerakan-gerakan radikal. Berbagai masalah ini yang bernuansa, seolah menjadikan bangsa indonesia takut akan komunitasnya sendiri, trauma yang mendalam, akibat konflik yang berulang kali terjadi di bangsa ini, konflik agama yang terakhir terjadi yaitu di temanggung beberapa bulan yang lalu, tentunya tragedi ini meninggalkan luka yang mendalam bagi yang berkonflik, terlebih lagi masyarakat setempat yang bermukim di sekitar tempat kejadian.
Ada apa dengan agama di Indonesia sebenarnya,? Ini adalah pertanyaan mendasar yang akan muncul,
Jawabannya sederhana, agama (entah disadari atau tidak) ada dalam kekuasan manusia dan bukan dalam kekuasaan Tuhan. Kata Tuhan masih sering diperdebatkan padahal seseorang yang mengatakan. Tuhan kepada apa dan siapapun menyatakan bahwa ia adalah abdi atau hamba dari yang ia nyatakan sebagai
Tuhan.
Rupanya Tuhan sudah terpisah dari agama oleh ulah manusia yang mengabdi kepada agama dan bukan kepada Tuhan jadi agama sudah menjadi Tuhan bagai banyak orang di Indonesia. Terbukti bahwa pada hampir semua formulir data seseorang ada kata agama, sehingga dalam seluruh dokumen formal di Negeri ini lebih banyak kata “agama” dari pada kata Tuhan. Inilah penulis maksudkan sebelumnya, bahwa umat beragama sudah tidak memperjuangkan nilai-nilai yang terkandung dalam agama, tetapi perjuanganya sudah beralih kepada ideologi semata. Inilah ketertarikan penulis untuk mengambil topik tentang kegagalan agama dalam menjalankan demokrasi, karena saya berpendapat bahwa agama tidak mampu menyelenggarakan masyarakat yang bermoral tinggi dan mulia dalam berdemokrasi.
Agama dan Demokrasi
Jika dikaji secara natural, sebenarnya nilai-nilai yang di bawa oleh agama merupakan refleksi kritis atas permasalahan yang terjadi pada kehidupan sosial-kemasyarakatan. Masalah-masalah sosial pada masa turunnya agama-agama adalah ketika terjadi banyak ketimpangan-ketimpangan sosial baik di bidang politik, budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Semangat yang di bawa oleh agama adalah semangat pembebasan manusia dari segala bentuk ketimpangan itu dan menuju pribadi sosial yg egaliter atau setara, berkebebasan dan demokratis.
Pada hal ini, kita jumpai terdapat nilai-nilai demokratis dalam semangat ajaran agama, bahwa segala gap sosial harus di benahi dan mewujudkan kesejahteraan serta kebebasan sebag bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dalm bingkai pemahaman egalitarianisme sosial.
Di dalam konsep agama dan demokrasi terdapat perbedaan secara fundamental. Perbedaan terlihat di ranah ontologis. Aktualisasi prima sikap keberagamaan adalah penyerahan diri sepenuhnya pada kehendak Tuhan. Sementara demokrasi mewujud dalam sikap sedia bernegosiasi dengan mempertimbangkan kehendak orang lain. Demokrasi berarti menempatkan kehendak dan rasionalitas manusia yang terlembagakan sebagai referensi tindakan sosial kemasyarakatan dan bernegara. Sedangkan dalam khidupan beragama, yang menjadi referensi puncak adalah ajaran Tuhan. Selain hal yg di sebutkan, secara historis antropologis, sosiologis, sjarah agama tak terlepas dari realitas kenyataan, peran agama tidak jarang hanya di gunakan untuk kpentingan politik dan kekuasan dalam mempertahankan status quo, sehingga memunculkan gerakan sektarian pemberontakan.
Secara teologis pula kita pahami bahwa, ajaran agama yg bersifat deduktif-metafisis dan selalu mendasarkan rujukan pada Tuhan (padahal Tuhan tak nampak secara empiris), sementara demokrasi adalah persoalan empiris dan bersifat dinamis, maka agama tak punya kompetensi untuk berbicara dan menyelesaikan persoalan demokrasi. Meskipun terjadi perbedaan pada ranah ontologis, tapi keduanya menemukan kesepahaman di ranah aksiologis, bahwa agama dan demokrasi teraktualisasi dalam objek yang sama, yaitu manusia degan segala kompleksitasnya. Titik temu agama dan demokrasi ini menebarkan doktrinitas yang egaliter agar keduanya memiliki premis dan komitmen yang sama tentang cita-cita kemanusiaan yang menjadi objek aksiologisnya.
Asumsi tersebut di wujudkan dalam bentuk bertemunya cita-cita demokrasi dan komitmen agama sebgai refleksi keimanan untuk menegakkan masyarakat yg egaliter dan dalam bingkai kesejahteraan sosial. Agama dan demokrasi harus mampu saling mengisi dan mengayomi khidupan berbangsa dan bernegara. Dan sebenarnya cita-cita inilah yang menurut penulis ingin diwujudkan dalam negara demokrasi seperti indonesia, jika demokrasi dikaji dari sudut pandang agama, itu sangat memungkinkan demokrasi itu terwujud, karena agama sangat menjunjung tinggi etika moral, menentang kekerasan, menentang diskriminasi dan yang bekaitan dengan pelanggaran abmoral. Andai ini bisa dijalankan lembaga agama maka indonesia akan bebas dari masalah seperti kekerasan, diskriminasi SARA, dan KKN. Tetapi hingga sekarang ini wujud dari demokrasi itu masi sangat jauh. Persoalannya, bagaimana memberi ruang gerak bagi ormas dan partai keagamaan yang ada tetapi tetap konsisten membangun demokrasi secara rasional sehingga agama dan negara tumbuh saling melengkapi, bukannya intervensi ataupun melakukan kooptasi. Akhir-akhir ini muncul gejala yang perlu dicermati bersama, jangan sampai tampilnya partai dan tokoh-tokoh agama dalam panggung, politik akan membunuh bibit dan pohon demokrasi mengingat hubungan agama dan demokrasi tidak selalu positif.
Seandainya umat beragama dalam menjalankan roda demokrasi di indonesia, sesuai pandangan etika agama yan lebih menitik beratkan kepada tanggung jawab moral, yang menganggap bahwa lembaga-lembaga politik sebagai alat bagi umat beragama untuk mengejar tujuan-tujuan duniawinya yang dikuduskan dan cita-cita bagi surgawinya, dan juga menginterpretasikan kekuasaan politik dari sudut moral, maka agama sangat dimungkinkan bisa menjadi dasar dari perjalanan demokrasi di indonesia. Karena semua kekuasaan duniawi dianggap sebagai pemberian Tuhan, kepada parapemegangnya sebgai tugas sucinya. Jadi bukanlah berarti bahwa umat beragam di larang untuk terjun ke bidang politik, tetapi dalam artian keterlibatanya di dalam bidang tersebut, harus dalam tuntunan imanya, dan juga penuh tanggung jawab sosial, dan tanggung jawab sakralnya yang di ilhamkan oleh Tuhan.
Tanggung jawab inilah yang sesungguhnya terlupakan oleh umat-umat beragama, dalam menjalankan otoritasnya baik dalam bidang politik, ekonomi, sosiologi, semuanya sudah tak terkontrol lagi, mereka hanya terbawa dengan euforia dalam moment tertentu, keserakahan material haus kekuasaanlah sebagai pemicu atas terlupakanya tanggung jawab sosialnya sebagai umat Tuhan. Di mana-mana terjadi kekerasan, konflik antar umat beragama, saling fitna, karena dengan alasan kekuasaan, kepentingan pribadi, semuanya tidak teraplikasikan lagi dalam ruang agama, semuanya lepas dengan alasan yang tidak sesuai dengan moralitas umat beragama. Penulis berharap ini jangan di pandang sebagai tantangan, tetapi ini adalah kewajiban yang terlupakan, bukan sesuatu yang hadir dengan tiba-tiba, karena dilupakanya tanggung jawab ini sehingga berbagai macam masalah yang muncul, yang mungkin kita mengibaratkanya sebagai tantangan baru, dalam realitas sosial.
Kesimpulan
Dari paparan di atas kita bisa menarik kesimpulan, bahwa hubungan agama dengan demokrasi memang sangat dipentingkan untuk menuntun perjalanan demokrasi. Agama diharapkan bisa menjadi dasar yang kuat untuk menopang berdirinya demokrasi. Tetapi ralitas yang terjadi dalam negara indonesia belum bisa menjamin bahwa peran agama dalam menopang berdirinya demokrasi belum mampu menjadi dasar yang kuat. Berbagai macam indikator yang bisa kita indentifikasi, yaitu pandangan umat beragama terhadap agama itu sendiri sudah bergeser, saya berasumsi bahwa bukan lagi agama dipandang sebagai alat menghubungkan diri dengan Sang Pencipta, tetapi seolah-olah agamalah yang telah menjadi Tuhan. Yang diperjuangkan adalah ideologinya bukan lagi nilai-nilai agamanya.

Sumber Diperoleh Oleh:http://politik.kompasiana.com/2011/07/17/kegagalan-agama-menjalankan-demokrasi-di-indonesia/

 

BAB 6: Pelapsan sosial dan kesamaan derajat

Sekolah untuk Si Kaya, Sekolah untuk Si Miskin

Masih berkaitan dengan pendaftaran siswa baru di berbagai SMA di tanah air, saya ingin menuliskan sedikit hasil pengamatan yang saya lakukan di sebuah SMA bertaraf internasional. Karena di tempat saya mengajar dulu (madrasah aliyah di Bogor), praktek pendaftaran siswa baru sangat berbeda dengan apa yang diselenggarakan di sekolah ini, maka saya cukup surprise ketika berkesempatan “nyelonong” mengikuti rapat orang tua.
Saya sebenarnya tidak berhak mengikuti rapat ortu tersebut, namun ada seorang teman yang selalu saja mengajak saya untuk melihat dan menilai sekolah anaknya. Maka saya pun duduk manis sambil memeriksa kerjaan di kampus yang harus beres hari itu, sambil mendengarkan penjelasan kepala sekolah tentang prestasi sekolah dan keuangan serta keperluan dana tahunan. Bagian terakhir yang penting. Dari lembaran anggaran yang dibagikan, kita dapat melihat sub-sub pemakaian anggaran yang menurut saya jika orang tua cerdas dan peduli, semestinya bisa menanyakan detilnya. Istilah yang dipergunakan campur aduk antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, terlihat sekali tidak ada standar baku yang disusun oleh pemerintah untuk penyusunan anggaran sekolah. Atau mentang-mentang karena statusnya sebagai SBI, maka istilahnya harus beringgris ria? Terlihat dalam rencana anggaran bahwa pembiayaan terbesar memang diandalkan dari pembayaran dan sumbangan orang tua.
Saya tidak begitu tertarik membahas prestasi siswa, sebab notabene yang masuk ke sekolah ini adalah anak-anak ber-IQ di atas rata-rata, dan berkemampuan dan berbakat khusus. Kalau secara kasar, maaf, saya dapat mengatakan guru sebenarnya hanya memoles sedikit anak-anak ini. Mereka sudah menunjukkan potensi berprestasi semenjak mereka mendaftar sekolah ini.
Acara terakhir dari rapat ortu adalah wawancara dengan setiap ortu untuk menyepakati berapa sumbangan orang tua, dan berapa SPP yang akan dibayarkannya. Dari obrolan dengan teman, saya mendapatkan informasi bahwa sumbangan minimal 7 juta dan SPP sebesar 300 ribu. Wah, uang SPP sebesar itu dua kali lipat lebih dari uang SPP yang harus saya bayarkan per semester di IPB dulu. Dan uang sumbangannya membuat kepala saya pening, tiba-tiba saja terbayang orang tua yang harus pinjam sana-sini untuk bisa masuk ke SMA favorit ini.
Saat wawancara, teman saya diminta untuk menyumbang lebih dari standar mengingat pekerjaannya sebagai dosen, dan demikian pula SPP diminta untuk membayar 500 ribu. Pewawancara adalah anggota komite sekolah. Teman saya (barangkali sudah merasa terlalu banyak mengeluarkan uang untuk putranya, karena sebelumnya sudah mengeluarkan puluhan juta untuk keperluan masuk sekolah top lainnya) menolak permintaan tersebut dan minta pembayaran basic/minimumnya saja. Saya tidak tahu seberapa alot tawar-menawar berlangsung, tetapi hasil akhirnya teman saya yang menang.
Dalam perjalanan pulang, kami mengobrolkan masalah sekolah mahal. Dan saya agak terperanjat dengan komentar teman, bahwa sekolah mahal itu biasa, pendidikan memang mahal. Lalu, saya kejar dia bagaimana dengan si miskin, pastilah dia tidak bisa memperoleh pendidikan yang baik, bahkan bermimpi untuk masuk sekolah-sekolah favorit. Jawaban teman saya lebih membuat saya shock berat, “Sekolah ini bukan untuk si miskin. Mereka punya jatah sekolah yang lain” Dia kemudian menjelaskan bahwa saat wawancara tadi, pewawancara memang mengatakan bahwa sumbangan di atas standar dimaksudkan untuk subsidi silang pembiayaan siswa-siswa dari keluarga tak mampu. Dan teman saya dengan santainya menjawab, “Untuk mereka sudah ada pos-nya tersendiri” (maksudnya, untuk si miskin sudah ada sekolahnya sendiri).
Dalam hati saya berdoa, semoga tidak banyak orang tua Indonesia yang berpikiran seperti ini. Yang saya sayangkan, teman saya bukan orang yang tidak terdidik. Lalu, mengapa ketidakpedulian itu muncul? Saya kira, banyak faktor yang menyebabkannya orang tua berpikiran demikian. Salah satunya adalah karena kebijakan privatisasi pendidikan dengan membuat sekolah bertaraf nasional dan internasional. Sekolah kita ibaratnya sama dengan sarana transportasi umum kita, kereta. Yang berani membayar mahal akan merasakan sejuk dan dinginnya gerbong eksekutif. Sementara yang cuma bisa membayar murah, harus menerima gerbong yang tanpa AC, panas dan pengap, serta harus mendahuluakan berlalunya kereta eksekutf. Sebuah ketimpangan yang menyakitkan. Sebuah ironi “sistem kasta dalam penggunaan alat transportasi” yang tidak saja berlaku di Indonesia, tetapi juga di Jepang. Untungnya, di Jepang agak berbeda, karena semua kereta ber-AC dan bersih.
Saya kira pendidikan Indonesia tidak akan bergerak maju, jika pemerintah tidak segera membuat pendidikan itu equal dan egaliter (dalam makna dapat dinikmati oleh semua rakyat tanpa pandang bulu secara ekonomi). Model klasifikasi sekolah yang sedang diterapkan sekarang ini, selain buruk akibatnya kepada masyarakat secara umum, juga merupakan penyakit “hati” atau menyakitkan bagi para siswa. Saat mengobrol dengan teman-temannya dari sekolah si kaya, anak-anak dari sekolah si miskin sudah minder duluan. Mereka sudah mendapatkan penilaian minus semenjak mereka memperkenalkan sekolahnya. Layaknya pemilihan penyanyi idola di TV, para juri biasanya sudah underestimated melihat penampilan seseorang, sebelum memberinya kesempatan bernyanyi.
Ah, manusiawi memang ! Tetapi, manusia berakal seharusnya ngga gitu-gitu amat !

Diperoleh dari:http://murniramli.wordpress.com/2011/09/05/sekolah-untuk-si-kaya-sekolah-untuk-si-miskin/

 

BAB 6: Pelapsan sosial dan kesamaan derajat

SI KAYA DAN SI MISKIN BERPELUKAN

PERSAHABATAN : SI KAYA DAN SI MISKIN BERPELUKAN
Kedua anak ini jelas berbeda dalam penampilan. Yang satu namanya Chris, berasal dari keluarga yang punya dan berada. Carl, keluarga miskin dan tak punya. Keberadaan mereka seperti langit dan bumi yang terdapat jarak yang sangat jauh. Chris selalu diantar jemput ke sekolah dengan mobil mewah. Berbanding terbalik dengan Carl, jalan kaki. Chris punya segudang perlengkapan sekolah; seragam, sepatu yang hampir setiap hari berganti. Carl? dia hanya punya satu pasang sepatu dan dua seragam. Namun ada satu hal yang mempersatukan mereka yakni persahabatan. Chris tidak pernah memikirkan bahwa apa yang ia punya dan keluaraga yang memiliki banyak menjadi kendala bagi dia menjalin persahabatan dengan si miskin. Ia punya hati dan rasa bahwa Carl yang miskin ini adalah teman yang pantas berbahagia, bergembira dan terutama punya harga diri.

Mereka, dua sahabat akrab ini masih kelas satu SMP namun mereka telah memberi suatu "pelajaran" bagi kaum dewasa apa arti dan bagaimana menjalin suatu persahabatan yang dilandasi dengan kasih. Chris selalu merenung bahwa dalam persahabatannya dengan Carl, ia tidak pernah mengandalkan "kuasa" kekayaan yang keluarganya miliki, juga ia tidak pernah memamerkan atribut super mewah yang ia kenakan. Ia selalu membawa sifat kesederhanaan dan kerendahan hati. Ia terbuka bagi semua dan untuk semua. Maka ia selalu meminta kepada sopir supaya diturunkan di tempat yang agak jauh dari sekolah dan dari sana ia jalan kaki ke sekolah. Ia tidak suka, semua orang tahu bahwa ia "kaya". Ia tidak senang semua orang memandang ke Mobil mewahnya dan memberi hormat padanya. Ia juga tidak mau Carl sahabatnya menjadi minder.

Persahabatan Chris dan Carl juga berlanjut di luar sekolah. Mereka "mempunyai" gereja yang sama. Sapaan Yesus yang dia dengarkan setiap hari Minggulah yang sebenarnya memberi mutiara hidup bagi Chris untuk selalu bersikap rendah hati dan juga memperhatikan orang kecil. Pada suatu Minggu pagi, anak remaja sedang membahas tentang kasih dalam injil Yohanes. Tiba-tiba Carl pergi keluar Gereja dengan wajah sedih karena ia tidak punya Kitab Suci. Ia malu karena tidak bisa "memberi" kasih kepada Yesus karena ia tidak bisa ikut berpartisipasi lantaran ketiadaan Kitab Suci. Merasa ada yang tidak beres Chris mengikutinya dari belakang. Chris langsung menepuk bahu Carl dan mengatakan, "Carl saya tahu masalah dan kesulitanmu, terimalah Kitab Suci saya ini." Carl terharu dan menangis atas kebaikan dan kemurahan hati sahabatnya ini. Pada saat itu jadilah Carl punya apa yang ia inginkan (Kitab Suci) sementara Chris tidak punya Kitab Suci.

Sesampai di rumah Chris melaporkan bahwa ia membutuhkan Kitab suci yang baru. Ia berbohong bahwa ia kehilangan Kitab Suci. Tanpa tanya, orang tuanya membeli yang baru. Begitulah, persahabatan mereka makin abadi. Carl bisa ikut dalam segala kegiatan karena kebaikan Chris. Chris juga tidak segan-segan membantunya. Chris rajin "mencuri" dari tabungan pribadinya di rumah. Pada suatu hari Chris mencek isi tabungannya dan ia heran karena tabungannya bukannya makin berkurang tetapi justru makin bertambah.

Pada Minggu berikutnya, sepulang dari Gereja, Chris mau mengambil uang dari tabungannya untuk membeli rosario dan salib untuk Carl. Ketika ia masuk kamarnya, ia melihat bahwa pintu kamarnya terbuka. Ia masuk pelan-pelan. Akhirnya ia menemukan ibunya sedang memasukkan sejumlah uang ke tabungannya. Ibunya terkejut, tetapi Chris lebih terkejut lagi. Akhirnya semua terjawab, kenapa isi tabungannya semakin bertambah. Saat itu juga Chris terus terang bahwa ia sering mengambil uang dari sana untuk membantu Carl. Ibunya tidak marah. Ia malah mengatakan, "ANAKKU SAYA BANGGA DENGANMU DAN KELUARGA MENGAGUMIMU.

Saudara-i terkasih dan teman-teman sekalian. Banyak orang berkatan, "SI KAYA DAN SI MISKIN TIDAK MUNGKIN BERTEMU, MUSTAHIL BERELASI. Tetapi kisah Chris dan Carl telah mementahkan pendapat mereka. Chris dan Carl bukan hanya mau menunjukkan bahwa si kaya dan si miskin bisa berelasi tetapi lebih dari situ bahwa Si kaya dan Si miskin bsa berpelukan asal kita punya hati dan rasa.
Yesus mengatakan, "Hendaknya kalian saling mengasihi sebagaimana Aku telah mengasihi kamu." Inillah yang "mengundang" Chris untuk mengasihi Carl, sahabatnya. Yesus juga mengatakan, "Aku menyebut kamu sahabat karena apa yang aku dengarkan dari BapaKu, Aku telah memberi tahukannya kepadamu. Ini juga menjadi "mutiara iman" yang membuka hati Chris untuk "memperlakukan" Carl sebagai sahabat sejatinya.

SEMOGA KITA MAMPU MENJADI SAHABAT BAGI SEMUA ORANG DAN SAUDARA BAGI YANG MEMBUTUHKAN


Sumber diperoleh dari:http://parokiku.org/content/si-kaya-dan-si-miskin-berpelukan

 

Selasa, 03 Januari 2012

BAB 5: Warga Negara Dan Negara

Masalah Sosial Anak Jalanan Menjadi Tanggung Jawab Seluruh Warga Negara

anak jalananLaporan Reporter Jaktv : Guustaf Febian, Aris Aryanto
JAKARTA, Jak-tv.com - Masalah sosial tentang anak jalanan memang tidak pernah habis di bahas. Jalan keluar terbaik terus diupayakan pemerintah guna mengatasi hal ini. Maraknya anak usia sekolah yang berada di jalan untuk mencari nafkah menjadi pekerjaan rumah serius pemerintah.
Hasil penelitian yang dilakukan Kementrian Sosial, pekerja anak setiap tahun semakin meningkat. Kementrian Sosial  telah menganggarkan dana untuk mengatasi masalah sosial anak, namun peran orang tua dalam menangani masalah ini menjadi hal yang utama.
Pada tahun 2011 ini pemerintah memfokuskan penanggulangan sosial anak di daerah DKI Jakarta. Tujuan dari program kesejahteraan sosial anak adalah untuk menwujudkan pemenuhan hak dasar anak dan perlindungan terhadap penelantaran, eksplotasi dan diskriminasi sehingga tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak dapat terwujud sesuai harapan.
Saat ini pemerintah terus berupaya mencari jalan keluar terbaik guna memberikan pelayanan pendidikan kepada anak. Untuk itu peran serta masyarakat sangat diharapkan dalam rangka memajukan kecerdasan bangsa.

Sumber Diperoleh dari: http://www.jak-tv.com/index.php?modul=detailnews&catID=25&key=2453

Bab 4: Pemuda dan Sosialisasi

Geng Motor Merusak Generasi Muda

MEDAN - Tindakan geng motor yang sudah sangat meresahkan warga kota Medan, harus segera diberantas.Karena tindakan geng motor ini juga merusak generasi muda.

Anggota komisi D DPRD Medan, Parlaungan Simangunsong, mengatakan, upaya untuk memberantas geng motor ini harus diarahkan kepada pembinaan mental generasi muda. Karena anggota yang terlibat dig eng motor ini pada umumnya masih berusia muda.

”Geng motor harus dibasmi,karena merusak generasi muda.Tapi lebih diarahkan kepada pembinaan mental saja,” tukas Parlaungan kepada Waspada Online.

Dirinya mengatakan kalau memang serius ingin menuntaskan permasalahan ini harus melibatkan semua elemen, bukan saja pihak aparat keamanan. Tapi, pihak kepolisian juga harus lebih ekstra untuk mengatasi masalah ini.

Kalau memungkinkan Polresta Medan harus lebih ketat menjaga wilayah-wilayah yang sering dijadikan titik kumpul geng motor tersebut. ”Kalau bisa, semua titik yang sering dijadikan tempat ngumpul anggota geng motor harus di jaga ketat,supaya mereka kesulitan untuk melakukan aksi anarkisnya,”ujarnya.

Dia juga mendukung sepenuhnya upaya-upaya yang dilakukan Polresta Medan untuk menindak geng motor tersebut. Pihak Polresta kota Medan juga dapat melibatkan peran pemuda setempat untuk membantu mengatasi permasalahan ini.

BAB 3: Penduduk masyarakat dan kebudayaan

Masalah-masalah kependudukan

Masyarakat yang tinggal atau mendiami suatu wilayah tertentu disebut penduduk. Jumlah penduduk yang mendiami suatu wilayah menentukan padat tidaknya di wilayah tersebut. 
  • Persebaran penduduk yang tidak merata
Wilayah negara kita sangat luas. Penduduk yang tinggal di wilayah negara kita tidak merata. Ada daerah yang sangat padat, namun ada juga daerah yang sangat jarang penduduknya. Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sangat padat. Menurut sensus tahun 2000, setiap satu kilometer persegi didiami lebih dari dua belas ribu orang. Ini sangat berbeda dengan Provinsi Kalimantan Barat. Di sana hanya ada 27 orang yang mendiami wilayah seluas satu kilometer persegi.
  • Jumlah penduduk yang begitu besar
Jumlah penduduk Indonesia sangat banyak. Indonesia menduduki urutan keempat negara terbanyak jumlah penduduk setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 adalah 205,8 juta jiwa.
  • Pertumbuhan penduduk yang tinggi
Jumlah penduduk Indonesia sudah sangat banyak. Jumlah ini akan terus bertambah karena pertumbuhan jumlah penduduk juga tinggi. Hal ini disebabkan oleh angka kelahiran lebih tinggi dibandingkan dengan angka kematian.
  • Kualitas penduduk rendah
Indonesia memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Ini mempengaruhi kualitas atau mutu penduduk Indonesia. Masyarakat Indonesia kurang memiliki keahlian dan keterampilan dalam bekerja. Akibatnya, masyarakat mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan yang bagus.
  • Rendahnya pendapatan per kapita
Pendapatan per kapita artinya rata-rata pendapatan penduduk setiap tahun. Pendapatan per kapita penduduk Indonesia masih rendah. Remdahnya pendapatan per kapita rendah berkaitan erat dengan banyaknya masyarakat miskin.
  • Tingginya tingkat ketergantungan
Penduduk yang tidak tidak bekerja disebut penduduk yang tidak produktif. Biasanya penduduk yang tidak bekerja adalah yang telah berusia lanjut atau masih anak-anak dan remaja. Mereka ini disebut usia nonproduktif. Penduduk nonproduktif menggantungkan hidupnya pada penduduk produktif (bekerja). Karena usia nonproduktif tinggi, maka tingkat ketergantungan di Indonesia cukup tinggi.
  • Kepadatan penduduk
Beberapa kota besar di Indonesia sangat padat. Tingginya kepadatan penduduk menyebabkan masalah-masalah sosial seperti pengangguran, kemiskinan, rendahnya pelayanan kesehatan, meningkatnya tindak kejahatan, pemukiman kumuh, lingkungan tempat tinggal yang tidak sehat, dan sebagainya.
Pemerintah terus berupaya mengatasi masalah-masalah kependudukan di atas. Upaya yang sudah dijalankan pemerintah antara lain sebagai berikut.
  • Menekan laju pertumbuhan penduduk melalui program keluarga berencana.
  • Melaksanakan program transmigrasi.
  • Meningkatkan kualitas pendidikan dan pelayanan kesehatan.
  • Membuka lapangan kerja sebanyak mungkin, dan sebagainya.
2. Tindak kejahatan
Tindak kejahatan pencurian dan perampokan sering disebakan oleh masalah kemiskinan dan pengangguran. Karena itu, pemerintah dan masyarakat harus berusaha keras untuk menciptakan lapangan kerja. Selain itu, kualitas dan pemerataan pendidikan harus ditingkat-kan untuk meningkatkan keterampilan dan keahlian warga. Sementara itu, aparat keamanan, terutama polisi harus mampu memberantas tindak kejahatan. Masyarakat diharapkan membantu polisi.
3. Masalah sampah
Masalah sampah sangat mengganggu, terutama kalau tidak dikelolah dengan baik.  Masyarakat yang tinggal di kota atau di daerah padat penduduk. Masyarakat kota dan daerah padat penduduk menghasilkan banya sekali sampah. Sampah segera menumpuk jika tidak segera diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Pemerintah, dalam hal ini adalah Dinas Kebersihan, memikul tanggung jawab dalam mengelola sampah. Sampah yang menumpuk menimbulkan bau tidak sedap. Sampah yang ditumpuk dapat menjadi sumber berbagai penyakit menular. Misalnya, muntah berak (muntaber), penyakit kulit, paru- paru, dan pernapasan.
 4. Pencemaran lingkungan
Ada pencemaran air dan pencemaran udara. Perairan bisa tercemar karena ulah manusia, misalnya membuang sampah ke sungai dan menangkap ikan dengan menggunakan pestisida. Sungai, danau, atau waduk juga menjadi tercemar kalau pabrik-pabrik membuang limbah industri ke sana. Pencemaran mengakibatkan matinya ikan dan makhluk lainnya yang hidup di air. Akhirnya, manusia juga menderita kerugian. Pencemaran udara disebabkan asap kendaraan bermotor dan asap pabrik-pabrik. Bayangkan apa yang terjadi dengan paru-paru kita, kalau kita menghirup udara yang sangat kotor seperti itu. Berbagai cara telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi pencemaran udara. Misalnya, membuat taman kota dan menanam pohon sebanyak-banyaknya. 
5. Kebakaran
Kebakaran yang terjadi di masyarakat umumnya merupakan kebakaran pemukiman. Sebuah rumah terbakar dan menjalar ke rumah-rumah di sekitarnya. Penyebabnya antara lain kompor meledak dan sambungan arus pendek (korsleting) listrik. Kita harus berusaha mencegah terjadinya kebakaran di lingkungan kita. Caranya antara lain sebagai berikut.
  • Merawat kompor supaya layak pakai dan tidak bermasalah.
  • Merawat jaringan listrik. Kabel yang mulai mengelupas diganti.
  • Mematikan kompor setelah memasak.
  • Berhati-hati menggunakan lilin dan korek api.
Kebakaran hutan sering terjadi pada musim kemarau. Asap kebakaran hutan banyak sekali. Asap kebakaran hutan mengganggu kesehatan dan lalu lintas. Selain itu, kawasan hutan akan semakin berkurang.
6. Rusaknya atau buruknya fasilitas umum
Banyak fasilitas umum dalam keadaan rusak atau tidak terpelihara, bukan. Banyak sarana transportasi seperti bus, kereta api, dan kapal sudah tua dan kotor. Demikian juga fasilitas-fasilitas sosial lainnya seperti telpon umum, WC umum, tempat hiburan dan rekreasi, dan sebagainya.  Fasilitas umum memang dipelihara dan dijaga oleh pemerintah. Meskipun demikian, masyarakat harus membantu merawat dan menjaga supaya tidak cepat rusak. 
7. Perilaku tidak disiplin
Dalam hidup sehari-hari kita menjumpai banyak sekali perilaku tidak disiplin. Kita ambil contoh keadaan di jalan raya. Salah satu penyebab terjadinya kemacetan lalu lintas adalah perilaku tidak disiplin. Contoh perilaku tidak disiplin di jalan raya antara lain sebagai berikut.
  • Menjalankan kendaraan melawan arus. Hal ini umumnya dilakukan pengendara sepeda motor.
  • Mengendarai sepeda motor di tempat yang bukan semestinya, misalnya di trotoar dan jalur cepat.
  • Pengandara mobil yang parkir sembarangan.
  • Angkot dan bis sering berhenti di sembarang tempat untuk menaikkan atau menurunkan penumpang.
  • Pejalan kaki menyebrang jalan meskipun rambu untuk pejalan kaki menyala merah. Banyak juga pejalan kaki yang menyeberang bukan pada tempat semestinya.
8. Penyalahgunaan narkoba dan alkohol
Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat-obatan berbahaya. Narkotika adalah obat untuk menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit, dan meningkatkan rangsangan, contohnya morfin, heroin, dan kokain. Zat-zat yang tergolong narkoba umumnya dipakai dalam dunia medis. Siapa pun yang menggunakannya untuk tujuan di luar tujuan pengobatan (medis) tergolong tindakan yang salah. Penyalahgunaan narkoba menjadi masalah sosial yang sangat serius. Pemakai narkoba akan kecanduan. Zat-zat itu perlahan-lahan merusak tubuh pemakainya. Banyaknya peredaran narkoba dan penyalahgunaan narkoba sangat meresahkan.
 
 9. Pemborosan energi
Sumber energi berupa bahan bakar (minyak bumi, gas alam, dan batu bara) suatu ketika akan habis. Sumber energi ini tidak dapat diperbarui. Karena itu, kita harus hemat memakainya supaya sumbersumber energi ini tidak cepat habis.  Kita bisa belajar menjadi hemat dalam menggunakan energi. Contoh cara menghemat energi antara lain sebagai  berikut.
  • Mematikan lampu-lampu yang tidak diperlukan.
  • Bepergian naik kendaraan umum atau sepeda.
  • Memanfaatkan sumber energi alternatif misalnya dari tumbuhtumbuhan, angin, air, dan matahari
Sumber diperoleh dari:http://tugino230171.wordpress.com/2011/12/23/masalah-masalah-sosial-di-lingkungan-setempat/

Bab 2: Individu keluarga dan masyarakat

MEREKA MEROKOK DIUSIA DINI
KOMPAS.com - Enam bocah laki-laki usia sekitar 15 tahun tampak meriung di pojok peron stasiun Jakarta Kota, Jakarta Barat, Sabtu (8/10/2011). Derai tawa sesekali mereka lepaskan, berpacu dengan keriuhan stasiun yang selalu ramai dengan calon penumpang kereta.
"Kita sering ngerokok bareng-bareng gini," ujar Fajar (15), si bocah berambut keriting itu.
Salah satu dari mereka, bocah yang berambut keriting, mengeluarkan sebatang rokok putih yang dibungkus plastik dari saku celananya. Tangan yang lain memantik korek.  Api menyala dan membakar batang rokok itu. Matanya setengah terpejam. Ia hisap dalam-dalam lalu asap mengepul dari  hidungnya, terbang ke udara.  Temannya yang lain menyusul membakar lintingan tembakau.
Menurut Fajar, hampir setiap pulang sekolah mereka melepas penat dengan "nongkrong" di stasiun. Mulai dari Stasiun Bogor hingga Stasiun Jakarta Kota. Selalu  ada rokok yang menemani aksi
"nongkrong" enam sekawan ini. "Rokok bikin hilang stres," ucap si rambut keriting sambil tertawa.
Sejak kapan mengenal rokok?
“Umur 13 tahun,” jawabnya.  Orang tua Fajar di ambang perceraian saat usia fajar menginjak 13 tahun.
“Karena broken home, semua gara-gara broken home,” katanya datar. "Lihat temen, kok kayaknya enak kalau merokok, ya sudah dicoba, jadi ketagihan."
Dalam sehari, ia mengaku dapat menghabiskan enam batang rokok. Ia menyisihkan uang jajannya sebesar Rp 2.000 per hari demi rokok. Jika tak ada uang, Fajar tak segan mengamen. "Enam batang, Rp 2.000 merek Envio, biasanya beli di warung-warung eceran," katanya.
Fajar sempat berhenti merokok. Alasannya, menghindari omelan ayahnya. "Papa bilang jangan ngerokok, berhenti. Ya berhenti dulu beberapa bulan buat hilangin hitam di bibir," ucapnya.

PENGARUH LINGKUNGAN DAN IKLAN

Masalah keluarga memang berpotensi mendorong seorang anak untuk melakukan hal-hal negatif. "Seperti merokok, narkoba, itu bisa gara-gara masalah keluarga," ujar pemerhati anak, Seto Mulyadi yang ditemui di rumahnya, Ciputat, Tangerang, beberapa waktu lalu.
Menurut Seto, perilaku merokok seorang anak juga dipengaruhi lingkungan keluarganya. Jika sang ayah atau si ibu merokok, sang anak cenderung meniru perilaku orangtuanya itu. Seto lantas mencontohkan kasus Aldi, bocah usia 2,5 tahun asal Musi Banyuasin Sumatera Selatan yang pandai merokok.
Aldi hidup di lingkungan nelayan dan tinggal dengan ayahnya yang seorang perokok. Terlebih, lingkungan tempat tinggalnya membanggakan kemampuan Aldi dalam merokok. Meskipun masih balita, Aldi mampu menghembuskan asap rokok membentuk lingkaran-lingkaran kecil di udara.
"Sangat berpengaruh ya, anak kan lihat dari logo, dari iklan itu. Industri rokok cukup cerdas dan jeli melihat peluang itu," tuturnya.
Karena mendapat perhatian dan pujuan dari lingkungannya itu, kata Seto, Aldi merasa bangga dan senang melakukan aksinya. "Dia mendapat reward, jadi tiap kali dia merokok dapat perhatian lingkungan, itu yang membntuk dia sebagai perokok," tuturnya.
Selain mencontoh perilaku orang di sekitarnya, anak juga akan terdorong untuk merokok atas pengaruh iklan. Menurut Seto, iklan rokok yang bebas tampil di Indonesia ini sangat efektif mengajak anak menjadi perokok pemula.
Seperti diketahui, iklan rokok beredar bebas di sekitar anak-anak. Mulai dari poster yang dipasang di lingkungan sekolah, spanduk, iklan di televisi, hingga kegiatan-kegiatan sponsorship pabrik rokok dalam acara-acara remaja seperti pertunjukkan musik.
"Misalnya, pertandingan sepak bola memakai nama Bentoel, Sampoerna. Itu bagain dari strageti industri rokok, mengabadikan nama mereka untuk mempengaruhi perilaku merokok sejak dini," ungkap Seto.

PERAN ORANGTUA

Seto juga menilai, orang tua seharusnya berperan dalam melindungi anak-anak mereka dari pengaruh rokok. Melalui komunikasi yang baik dan memberi perhatian lebih, orangtua dapat mengarahkan anak-anak mereka menghindari rokok.
"Nomer satu justru para orgtua, bila orang tua tidak mampu komunikasi dengan efektif, pengaruh yang dari luar siap memangsa anak-anak, menjadi calon perokok dewasa," katanya.
"Orangtua harus berani mengomandokan anaknya untuk tidak merokok," kata Seto.

Sumber  Diperoleh Dari:http://ads2.kompas.com/layer/suaraanakindonesia/feature.html

ISD bagian dari MKDU


Kematian Ilmu-ilmu Sosial di Indonesia???


Rabu 24 Februari 2010 Sekolah Pascasarjana UGM mengadakan “Seminar the Great Thinkers”, sebuah diskusi bulanan yang membahas tentang pemikiran-pemikiran ilmuwan yang memberikan pengaruh luar biasa dalam tradisi intelektual. Seminar kali ini membahas “Selo Soemardjan dan Kematian Ilmu Sosial di Indonesia” , bertempat di Ruang Seminar Gedung Sekolah Pascasarjana Lt 5, Jl. Teknika Utara Pogung, Universitas Gadjah Mada. Adapun pembicara yang dihadirkan adalah dua orang sosiolog kondang: Prof. Dr. Heru Nugroho dan Prof. Dr. Sunyoto Usman.
Dalam makalahnya, Prof. Sunyoto Usman mengatakan buku yang terkenal dari Selo Soemardjan adalah “Perubahan Sosial di Yogyakarta”. Buku ini mengkaji dan menjelaskan perubahan sosial masyarakat Jawa di Yogyakarta. Faktor penting dalam perubahan masyarakat Jawa adalah ideologi politik,
“Ideologi politik dalam perspektif sosiologi bisa dilihat dari 2 hal. Pertama, status dan peran masyarakat sipil dalam hubungannya dengan negara, dari dalam posisi sub-ordinasi (didominasi, diabaikan) dalam proses perumusan dan eksekusi keputusan yang menyangkut kepentingan publik, menjadi lebih melembagakan kompetisi sehat, transparansi dan partisipasi. Kedua, status dan peran lembaga-lembaga pemerintahan, dari yang sangat sentralistik dan otokratis menjadi pemerintahan yang didesentralistik dan demokratis. Ideologi politik semacam ini bukan sekedar sebuah mekanisme bagaimana meraih, mengembangkan dan mempertahankan  kekuasaan, tetapi lebih daripada itu adalah niat luhur yang menghargai harkat dan martabat manusia.” (Sunyoto Usman dalam Makalah “Selo Soemardjan, Perubahan Sosial, dan Masyarakat Jejaring”)
Tidak seperti revolusi sosial di Perancis yang digerakkan oleh kaum intelektual bersama rakyat yang tertindas untuk menggulingkan kekuasaan raja yang absolut, perubahan sosial di Yogyakarta malah digerakkan oleh pucuk pimpinan dan pemilik kekuasaan itu sendiri yakni Raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sehingga para bangsawan dan rakyat secara keseluruhan melihat perubahan yang digulirkan oleh sang Raja sebagai keharusan yang mesti dijalani untuk perbaikan ke depan.  Maka perubahan yang terjadi disertai tanpa gejolak yang berarti, meskipun membongkar sebagian sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Perubahan sosial yang mengedepankan nilai-nilai harmoni telah berhasil membawa perubahan tanpa berdarah-darah. Namun, saat ini perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat kita cendrung mengabaikan nilai-nilai harmonisasi ini. Produk politik yang memberlakukan pemilihan kepala daerah, presiden dan wakil presiden melalui pemilihan langsung telah membelah masyarakat pada kandidat-kandidat yang bertarung. Segmentasi yang terjadi terus meruncing dalam kampanye-kampanye negatif, saling menjatuhkan. Maka upaya perangkulan (koalisi) setelah pemilihan menjadi sia-sia, karena pendukung masing-masing kandidat sudah membawa alam bawah sadar kebencian satu sama lain.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX memposisi diri sebagai pelopor sekaligus fasilitator. Ia tidak memaksakan ide-idenya diterima sepenuhnya oleh masyarakat. Sultan memberikan jalan dan dukungan teknis, dan menyerahkan sepenuhnya gerak perubahan itu kepada rakyat.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah raja yang membuka sekat-sekat ketat kraton yang begitu sakral. Dengan berani Sultan menjadikan kraton sebagai ruang publik yang bisa diakses siapapun untuk kepentingan bersama. Sejarah UGM menggambarkan keterbukaan itu. Bagaimana di awal-awal pendirianya, UGM memakai beberapa ruang di kraton untuk kegiatan kuliah. Kita tidak melihat keterbukaan seperti ini pada kesultanan-kesultanan lain yang ada di Indonesia.
Perubahan sosial membutuhkan teori baru dan metodologi baru seiring perkembangan masyarakat.  Di sisi lain, teori baru dan metodologi baru lahir dari penelitian serius terhadap fenomena yang terjadi pada masyarakat. Pemikiran Selo Soemardjan secara cerdas dan komprehensif berhasil memotret perubahan sosial di Yogyakarta. Namun, cukup berat untuk membawa analisis yang beliau pakai untuk konteks sekarang. Oleh karena itu, diperlukan ilmuan-ilmuan sosial baru yang mampu memotret kondisi masyarakat saat ini.
Kebutuhan terhadap lahirnya ilmuan-ilmuan baru yang mampu menawarkan teori baru dalam menelisik fenomena sosial, menurut Prof. Sunyoto mengalami kemandegan. Hal ini disebabkan perguruan tinggi sebagai agent pencetak intelektual mengalami krisis. Ada 3 krisis yang dialami oleh perguruan tinggi: Pertama, mahasiswa pascasarjana yag diharapkan mampu memberikan kritik pada teori dan menghasilkan teori baru, masih berkutat pada identifikasi teori dan mengekor pada teori-teori yang sudah ada. Kedua, dosen tidak dijadikan sebagai “patner diskusi”, tapi sebagai sumber dari segala sumber. Ketiga, banyak professor yang  dipaksa/memaksakan diri membimbing mahasiswa meneliti bidang yang tidak dikuasainya.
Kondisi ini semakin diperparah oleh kebijakan DIKTI sebagai regulator pendidikan tinggi di Indonesia dengan membuat aturan pendidikan linear S1, S2, S3 bagi dosen. Sekilas, aturan ini memang mengarah pada spesialisasi keilmuan. Namun, kalau ditelisik lebih jauh kata Prof. Sunyoto, kebijakan ini menjadi penghambat berkembangnya ilmu pengetahuan karena memahami fenomena dan masalah secara monolog.
************************************
Prof. Heru Nugroho tampil sebagai pembicara kedua setelah Prof. Sunyoto meninggalkan ruangan karena harus terbang ke Bali. Menurut Doktor lulusan Jerman ini, sebagai ilmuan, Selo Soemardjan kurang meninggalkan jejak. Namun beliau berhasil meletakkan kemajuan sosiologi secara kelembagaan melalui pencapaiannya membesarkan jurusan sosiologi di Universitas Indonesia.
Berangkat kepada pembahasan kematian ilmu-ilmu sosial, Prof. Heru menyebutkan ada tiga agent penyebab kematian ilmu-ilmu sosial: negara, perspektif, dan perilaku ilmuan itu sendiri. Untuk konteks saat ini di Indonesia, negara berperan lebih positif dibandingkan masa orde baru. Berbagai kebijakan pro pendidikan telah digelontorkan oleh pemerintah. Di antaranya adalah pemberian tunjangan tiga kali lipat gaji pokok kepada professor dan pemberian tunjangan dua kali lipat kepada dosen bersertifikasi. Memang kebijakan ini terkesan terlambat dan belum sepenuhnya memadai. Namun, sudah ada apresiasi dan langkah baik yang dilakukan pemerintah untuk mengairahkan pelaku pendidikan.
Prof. Heru melihat lambatnya perkembangan ilmu khususnya ilmu-ilmu sosial di Indonesia lebih dikarenakan persoalan ilmuan itu sendiri. Universitas sebagai motor utama, telah bergeser fungsinya menjadi arena pertarungan kekuasaan. Hal ini sangat kentara terlihat pada fenomena kekritisan akademisi hanya ketika berada di luar kekuasaan, tapi kalau sudah dipinang berubah arah menjadi pembela utama kebijakan penguasa.
Universitas yang seharusnya menjadi magistrium ex scholarium, tempat berdebatnya para ilmuan demi menghasilkan pemikiran demi perubahan ke arah kebaikan, telah berubah fungsi menjadi batu loncatan untuk menjadi bagian dari kekuasaan. Sehingga tradisi intelektual-pun hancur oleh orientasi pembelaan-pembelaan demi melanggengkan posisi dan kedudukan.
Fenomena intelektual hazart ini tampaknya sudah menggeliat di UGM. Prof. Heru menunjukkan secara sederhana, “Cubalah sesekali melakukan penelitian di bandara Adisucjipto pada hari senin. Maka anda akan melihat sejibun professor - doktor UGM sedang check in menunggu keberangkatan ke Jakarta. Dalam rangka apa? Pelaksanaan posisi mereka sebagai staff ahli pejabat pemerintah.” Tergiur oleh posisi penting di pemerintahan telah membuat mereka meninggalkan kewajiban sebagai pengajar di kampus.
Jika lingkungan kampus yang terbangun adalah pengejaran untuk dekat dengan kekuasaan, maka tradisi intelektual tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah agar situasi ini tidak terlanjur parah yang ujung-ujungnya akan membuat keilmuan mati perlahan seiring disorientasi para ilmuan. Menurut Prof. Heru ada tiga solusi: Pertama, pembangunan dan penguatan kelembagaan baik itu berupa kesejahteraan staff pengajar, pemberian fasilitas yang memadai sehingga dosen betah di kampus, dan pembuatan regulasi yang ketat sehingga fasilitas yang diberikan berbanding lurus dengan kerja-kerja yang dilakukan. Kedua, memperkuat moralitas dan komitmen. Ketiga, sikap asketis yaitu sikap untuk bersemangat menahan godaan kekuasaan dan semangat untuk terus tekun melakukan penelitian-penelitian demi penemuan teori-teori baru.
Prof. Heru menemukan sikap asketis ini pada dosen-dosennya sewaktu belajar di Jerman. Dosen di sana suntuk dengan hal-hal akademis bukan hal-hal yang berbau teknis, apalagi menghabiskan waktu untuk hal-hal pragmatis seperti pengejaran posisi dalam kekuasaan. Emile Durkheim mengatakan dalam masyarakat ada pembagian kerja. Oleh karena itu menurut Prof. Heru, jika memang sudah memilih untuk menjadi dosen, maka fokuslah dengan pekerjaan-pekerjaan dosen. Jadi intelektual organik sebagai mana yang disampaikan oleh Gramci. Menjadi penghubung antara abstraksi teori dengan realitas praktis agar tak menjadi menara gading. Mengkritik penguasa demi perubahan ke arah kebaikan, bukan mengkritik untuk mencari perhatian demi mencari kedudukan.

Sumber:http://sosbud.kompasiana.com/2010/03/01/kematian-ilmu-ilmu-sosial-di-indonesia/