Sekolah untuk Si Kaya, Sekolah untuk Si Miskin
Masih berkaitan dengan pendaftaran siswa baru di berbagai SMA di tanah air, saya ingin menuliskan sedikit hasil pengamatan yang saya lakukan di sebuah SMA bertaraf internasional. Karena di tempat saya mengajar dulu (madrasah aliyah di Bogor), praktek pendaftaran siswa baru sangat berbeda dengan apa yang diselenggarakan di sekolah ini, maka saya cukup surprise ketika berkesempatan “nyelonong” mengikuti rapat orang tua.Saya sebenarnya tidak berhak mengikuti rapat ortu tersebut, namun ada seorang teman yang selalu saja mengajak saya untuk melihat dan menilai sekolah anaknya. Maka saya pun duduk manis sambil memeriksa kerjaan di kampus yang harus beres hari itu, sambil mendengarkan penjelasan kepala sekolah tentang prestasi sekolah dan keuangan serta keperluan dana tahunan. Bagian terakhir yang penting. Dari lembaran anggaran yang dibagikan, kita dapat melihat sub-sub pemakaian anggaran yang menurut saya jika orang tua cerdas dan peduli, semestinya bisa menanyakan detilnya. Istilah yang dipergunakan campur aduk antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, terlihat sekali tidak ada standar baku yang disusun oleh pemerintah untuk penyusunan anggaran sekolah. Atau mentang-mentang karena statusnya sebagai SBI, maka istilahnya harus beringgris ria? Terlihat dalam rencana anggaran bahwa pembiayaan terbesar memang diandalkan dari pembayaran dan sumbangan orang tua.
Saya tidak begitu tertarik membahas prestasi siswa, sebab notabene yang masuk ke sekolah ini adalah anak-anak ber-IQ di atas rata-rata, dan berkemampuan dan berbakat khusus. Kalau secara kasar, maaf, saya dapat mengatakan guru sebenarnya hanya memoles sedikit anak-anak ini. Mereka sudah menunjukkan potensi berprestasi semenjak mereka mendaftar sekolah ini.
Acara terakhir dari rapat ortu adalah wawancara dengan setiap ortu untuk menyepakati berapa sumbangan orang tua, dan berapa SPP yang akan dibayarkannya. Dari obrolan dengan teman, saya mendapatkan informasi bahwa sumbangan minimal 7 juta dan SPP sebesar 300 ribu. Wah, uang SPP sebesar itu dua kali lipat lebih dari uang SPP yang harus saya bayarkan per semester di IPB dulu. Dan uang sumbangannya membuat kepala saya pening, tiba-tiba saja terbayang orang tua yang harus pinjam sana-sini untuk bisa masuk ke SMA favorit ini.
Saat wawancara, teman saya diminta untuk menyumbang lebih dari standar mengingat pekerjaannya sebagai dosen, dan demikian pula SPP diminta untuk membayar 500 ribu. Pewawancara adalah anggota komite sekolah. Teman saya (barangkali sudah merasa terlalu banyak mengeluarkan uang untuk putranya, karena sebelumnya sudah mengeluarkan puluhan juta untuk keperluan masuk sekolah top lainnya) menolak permintaan tersebut dan minta pembayaran basic/minimumnya saja. Saya tidak tahu seberapa alot tawar-menawar berlangsung, tetapi hasil akhirnya teman saya yang menang.
Dalam perjalanan pulang, kami mengobrolkan masalah sekolah mahal. Dan saya agak terperanjat dengan komentar teman, bahwa sekolah mahal itu biasa, pendidikan memang mahal. Lalu, saya kejar dia bagaimana dengan si miskin, pastilah dia tidak bisa memperoleh pendidikan yang baik, bahkan bermimpi untuk masuk sekolah-sekolah favorit. Jawaban teman saya lebih membuat saya shock berat, “Sekolah ini bukan untuk si miskin. Mereka punya jatah sekolah yang lain” Dia kemudian menjelaskan bahwa saat wawancara tadi, pewawancara memang mengatakan bahwa sumbangan di atas standar dimaksudkan untuk subsidi silang pembiayaan siswa-siswa dari keluarga tak mampu. Dan teman saya dengan santainya menjawab, “Untuk mereka sudah ada pos-nya tersendiri” (maksudnya, untuk si miskin sudah ada sekolahnya sendiri).
Dalam hati saya berdoa, semoga tidak banyak orang tua Indonesia yang berpikiran seperti ini. Yang saya sayangkan, teman saya bukan orang yang tidak terdidik. Lalu, mengapa ketidakpedulian itu muncul? Saya kira, banyak faktor yang menyebabkannya orang tua berpikiran demikian. Salah satunya adalah karena kebijakan privatisasi pendidikan dengan membuat sekolah bertaraf nasional dan internasional. Sekolah kita ibaratnya sama dengan sarana transportasi umum kita, kereta. Yang berani membayar mahal akan merasakan sejuk dan dinginnya gerbong eksekutif. Sementara yang cuma bisa membayar murah, harus menerima gerbong yang tanpa AC, panas dan pengap, serta harus mendahuluakan berlalunya kereta eksekutf. Sebuah ketimpangan yang menyakitkan. Sebuah ironi “sistem kasta dalam penggunaan alat transportasi” yang tidak saja berlaku di Indonesia, tetapi juga di Jepang. Untungnya, di Jepang agak berbeda, karena semua kereta ber-AC dan bersih.
Saya kira pendidikan Indonesia tidak akan bergerak maju, jika pemerintah tidak segera membuat pendidikan itu equal dan egaliter (dalam makna dapat dinikmati oleh semua rakyat tanpa pandang bulu secara ekonomi). Model klasifikasi sekolah yang sedang diterapkan sekarang ini, selain buruk akibatnya kepada masyarakat secara umum, juga merupakan penyakit “hati” atau menyakitkan bagi para siswa. Saat mengobrol dengan teman-temannya dari sekolah si kaya, anak-anak dari sekolah si miskin sudah minder duluan. Mereka sudah mendapatkan penilaian minus semenjak mereka memperkenalkan sekolahnya. Layaknya pemilihan penyanyi idola di TV, para juri biasanya sudah underestimated melihat penampilan seseorang, sebelum memberinya kesempatan bernyanyi.
Ah, manusiawi memang ! Tetapi, manusia berakal seharusnya ngga gitu-gitu amat !
Diperoleh dari:http://murniramli.wordpress.com/2011/09/05/sekolah-untuk-si-kaya-sekolah-untuk-si-miskin/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar