Kematian Ilmu-ilmu Sosial di Indonesia???
Rabu 24 Februari 2010 Sekolah Pascasarjana UGM mengadakan “Seminar the Great Thinkers”, sebuah diskusi bulanan yang membahas tentang pemikiran-pemikiran ilmuwan yang memberikan pengaruh luar biasa dalam tradisi intelektual. Seminar kali ini membahas “Selo Soemardjan dan Kematian Ilmu Sosial di Indonesia” , bertempat di Ruang Seminar Gedung Sekolah Pascasarjana Lt 5, Jl. Teknika Utara Pogung, Universitas Gadjah Mada. Adapun pembicara yang dihadirkan adalah dua orang sosiolog kondang: Prof. Dr. Heru Nugroho dan Prof. Dr. Sunyoto Usman.
Dalam makalahnya, Prof. Sunyoto Usman mengatakan buku yang terkenal dari Selo Soemardjan adalah “Perubahan Sosial di Yogyakarta”. Buku ini mengkaji dan menjelaskan perubahan sosial masyarakat Jawa di Yogyakarta. Faktor penting dalam perubahan masyarakat Jawa adalah ideologi politik,
“Ideologi politik dalam perspektif sosiologi bisa dilihat dari 2 hal. Pertama, status dan peran masyarakat sipil dalam hubungannya dengan negara, dari dalam posisi sub-ordinasi (didominasi, diabaikan) dalam proses perumusan dan eksekusi keputusan yang menyangkut kepentingan publik, menjadi lebih melembagakan kompetisi sehat, transparansi dan partisipasi. Kedua, status dan peran lembaga-lembaga pemerintahan, dari yang sangat sentralistik dan otokratis menjadi pemerintahan yang didesentralistik dan demokratis. Ideologi politik semacam ini bukan sekedar sebuah mekanisme bagaimana meraih, mengembangkan dan mempertahankan kekuasaan, tetapi lebih daripada itu adalah niat luhur yang menghargai harkat dan martabat manusia.” (Sunyoto Usman dalam Makalah “Selo Soemardjan, Perubahan Sosial, dan Masyarakat Jejaring”)
Tidak seperti revolusi sosial di Perancis yang digerakkan oleh kaum intelektual bersama rakyat yang tertindas untuk menggulingkan kekuasaan raja yang absolut, perubahan sosial di Yogyakarta malah digerakkan oleh pucuk pimpinan dan pemilik kekuasaan itu sendiri yakni Raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sehingga para bangsawan dan rakyat secara keseluruhan melihat perubahan yang digulirkan oleh sang Raja sebagai keharusan yang mesti dijalani untuk perbaikan ke depan. Maka perubahan yang terjadi disertai tanpa gejolak yang berarti, meskipun membongkar sebagian sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Perubahan sosial yang mengedepankan nilai-nilai harmoni telah berhasil membawa perubahan tanpa berdarah-darah. Namun, saat ini perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat kita cendrung mengabaikan nilai-nilai harmonisasi ini. Produk politik yang memberlakukan pemilihan kepala daerah, presiden dan wakil presiden melalui pemilihan langsung telah membelah masyarakat pada kandidat-kandidat yang bertarung. Segmentasi yang terjadi terus meruncing dalam kampanye-kampanye negatif, saling menjatuhkan. Maka upaya perangkulan (koalisi) setelah pemilihan menjadi sia-sia, karena pendukung masing-masing kandidat sudah membawa alam bawah sadar kebencian satu sama lain.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX memposisi diri sebagai pelopor sekaligus fasilitator. Ia tidak memaksakan ide-idenya diterima sepenuhnya oleh masyarakat. Sultan memberikan jalan dan dukungan teknis, dan menyerahkan sepenuhnya gerak perubahan itu kepada rakyat.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah raja yang membuka sekat-sekat ketat kraton yang begitu sakral. Dengan berani Sultan menjadikan kraton sebagai ruang publik yang bisa diakses siapapun untuk kepentingan bersama. Sejarah UGM menggambarkan keterbukaan itu. Bagaimana di awal-awal pendirianya, UGM memakai beberapa ruang di kraton untuk kegiatan kuliah. Kita tidak melihat keterbukaan seperti ini pada kesultanan-kesultanan lain yang ada di Indonesia.
Perubahan sosial membutuhkan teori baru dan metodologi baru seiring perkembangan masyarakat. Di sisi lain, teori baru dan metodologi baru lahir dari penelitian serius terhadap fenomena yang terjadi pada masyarakat. Pemikiran Selo Soemardjan secara cerdas dan komprehensif berhasil memotret perubahan sosial di Yogyakarta. Namun, cukup berat untuk membawa analisis yang beliau pakai untuk konteks sekarang. Oleh karena itu, diperlukan ilmuan-ilmuan sosial baru yang mampu memotret kondisi masyarakat saat ini.
Kebutuhan terhadap lahirnya ilmuan-ilmuan baru yang mampu menawarkan teori baru dalam menelisik fenomena sosial, menurut Prof. Sunyoto mengalami kemandegan. Hal ini disebabkan perguruan tinggi sebagai agent pencetak intelektual mengalami krisis. Ada 3 krisis yang dialami oleh perguruan tinggi: Pertama, mahasiswa pascasarjana yag diharapkan mampu memberikan kritik pada teori dan menghasilkan teori baru, masih berkutat pada identifikasi teori dan mengekor pada teori-teori yang sudah ada. Kedua, dosen tidak dijadikan sebagai “patner diskusi”, tapi sebagai sumber dari segala sumber. Ketiga, banyak professor yang dipaksa/memaksakan diri membimbing mahasiswa meneliti bidang yang tidak dikuasainya.
Kondisi ini semakin diperparah oleh kebijakan DIKTI sebagai regulator pendidikan tinggi di Indonesia dengan membuat aturan pendidikan linear S1, S2, S3 bagi dosen. Sekilas, aturan ini memang mengarah pada spesialisasi keilmuan. Namun, kalau ditelisik lebih jauh kata Prof. Sunyoto, kebijakan ini menjadi penghambat berkembangnya ilmu pengetahuan karena memahami fenomena dan masalah secara monolog.
************************************
Prof. Heru Nugroho tampil sebagai pembicara kedua setelah Prof. Sunyoto meninggalkan ruangan karena harus terbang ke Bali. Menurut Doktor lulusan Jerman ini, sebagai ilmuan, Selo Soemardjan kurang meninggalkan jejak. Namun beliau berhasil meletakkan kemajuan sosiologi secara kelembagaan melalui pencapaiannya membesarkan jurusan sosiologi di Universitas Indonesia.
Berangkat kepada pembahasan kematian ilmu-ilmu sosial, Prof. Heru menyebutkan ada tiga agent penyebab kematian ilmu-ilmu sosial: negara, perspektif, dan perilaku ilmuan itu sendiri. Untuk konteks saat ini di Indonesia, negara berperan lebih positif dibandingkan masa orde baru. Berbagai kebijakan pro pendidikan telah digelontorkan oleh pemerintah. Di antaranya adalah pemberian tunjangan tiga kali lipat gaji pokok kepada professor dan pemberian tunjangan dua kali lipat kepada dosen bersertifikasi. Memang kebijakan ini terkesan terlambat dan belum sepenuhnya memadai. Namun, sudah ada apresiasi dan langkah baik yang dilakukan pemerintah untuk mengairahkan pelaku pendidikan.
Prof. Heru melihat lambatnya perkembangan ilmu khususnya ilmu-ilmu sosial di Indonesia lebih dikarenakan persoalan ilmuan itu sendiri. Universitas sebagai motor utama, telah bergeser fungsinya menjadi arena pertarungan kekuasaan. Hal ini sangat kentara terlihat pada fenomena kekritisan akademisi hanya ketika berada di luar kekuasaan, tapi kalau sudah dipinang berubah arah menjadi pembela utama kebijakan penguasa.
Universitas yang seharusnya menjadi magistrium ex scholarium, tempat berdebatnya para ilmuan demi menghasilkan pemikiran demi perubahan ke arah kebaikan, telah berubah fungsi menjadi batu loncatan untuk menjadi bagian dari kekuasaan. Sehingga tradisi intelektual-pun hancur oleh orientasi pembelaan-pembelaan demi melanggengkan posisi dan kedudukan.
Fenomena intelektual hazart ini tampaknya sudah menggeliat di UGM. Prof. Heru menunjukkan secara sederhana, “Cubalah sesekali melakukan penelitian di bandara Adisucjipto pada hari senin. Maka anda akan melihat sejibun professor - doktor UGM sedang check in menunggu keberangkatan ke Jakarta. Dalam rangka apa? Pelaksanaan posisi mereka sebagai staff ahli pejabat pemerintah.” Tergiur oleh posisi penting di pemerintahan telah membuat mereka meninggalkan kewajiban sebagai pengajar di kampus.
Jika lingkungan kampus yang terbangun adalah pengejaran untuk dekat dengan kekuasaan, maka tradisi intelektual tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah agar situasi ini tidak terlanjur parah yang ujung-ujungnya akan membuat keilmuan mati perlahan seiring disorientasi para ilmuan. Menurut Prof. Heru ada tiga solusi: Pertama, pembangunan dan penguatan kelembagaan baik itu berupa kesejahteraan staff pengajar, pemberian fasilitas yang memadai sehingga dosen betah di kampus, dan pembuatan regulasi yang ketat sehingga fasilitas yang diberikan berbanding lurus dengan kerja-kerja yang dilakukan. Kedua, memperkuat moralitas dan komitmen. Ketiga, sikap asketis yaitu sikap untuk bersemangat menahan godaan kekuasaan dan semangat untuk terus tekun melakukan penelitian-penelitian demi penemuan teori-teori baru.
Prof. Heru menemukan sikap asketis ini pada dosen-dosennya sewaktu belajar di Jerman. Dosen di sana suntuk dengan hal-hal akademis bukan hal-hal yang berbau teknis, apalagi menghabiskan waktu untuk hal-hal pragmatis seperti pengejaran posisi dalam kekuasaan. Emile Durkheim mengatakan dalam masyarakat ada pembagian kerja. Oleh karena itu menurut Prof. Heru, jika memang sudah memilih untuk menjadi dosen, maka fokuslah dengan pekerjaan-pekerjaan dosen. Jadi intelektual organik sebagai mana yang disampaikan oleh Gramci. Menjadi penghubung antara abstraksi teori dengan realitas praktis agar tak menjadi menara gading. Mengkritik penguasa demi perubahan ke arah kebaikan, bukan mengkritik untuk mencari perhatian demi mencari kedudukan.
Sumber:http://sosbud.kompasiana.com/2010/03/01/kematian-ilmu-ilmu-sosial-di-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar